EXHIBITIONS 2009
→ NARASI
→ BIENNALE YOGYA X
→ ART(I)CULATION
EXHIBITIONS 2010
→ UNITY IN DIVERSITY
→ REBORN (Solo Exhibition)
→ VISION OF SPACE
→ PAMERAN SENI RUPA ISLAMI
→ GREEN ART CARNIVALE
→ BAZAR ART JAKARTA 2010
EXHIBITIONS 2011
→ INDEPENDENT ART
→ UNITED COLOR OF THE ARTS
EXHIBITIONS 2012
→ BALINESE ARTISTS EXHIBITION
→ MATTARA EXHIBITION
EXHIBITIONS 2013
→ PAMERAN PATUNG
ALUMNI ISI
→ COSMIC ENERGY
→ BALI ART FAIR 2013
EXHIBITIONS 2015
→ FORM AND FANTASY
→ OFFERING
→ VIOLENT BALI
→ MY NAME IS WAYANG
EXHIBITIONS 2016
→ ART AS PERSPECTIVE
→ RUANG KECIL BERBICARA
EXHIBITIONS 2017
→ VIP GALLERY
EXHIBITIONS 2020
→ GALERY ZEN1
DIALOG RELIGIOSITAS DAN KARYA-KARYA SENI RUPA
[Pengantar pada pameran Offering(s)]
Oleh. Mudji Sutrisno SJ.
(Budayawan, Rohaniawan)
1. Mengantar pameran seni rupa dari para seniman itu seperti mengantar tamu untuk memasuki rumah baru yang selesai dibangun dengan budi dan hati, lalu siap disyukuri dengan berkat dan kemudian masing-masing ruang berfungsi sekaligus ada ‘ruh’ bersemayam disana. Mensyukuri yang berharga dari kehidupan adalah proses estetika nusantara ini yang bersumber pada rasa terima kasih atas anugerah hidup yang lalu dirayakan dan dimuliakan ke Pencipta hidup itu sendiri. Ketika syukuran atas hidup menjadi cuatan warna, entah acrylic atau cat minyak dalam kanvas lukisan, disana tindakan menghunjukkan persembahan sedang dirayakan. Seperti mengantar masuk rumah baru untuk dihuni di Bali bermatra tiga untuk sampai pada harmoni yang suci, yang indah dan yang baik atau benar. Ada ruangan yang disucikan dalam ‘desa’. Ada waktu yang ditaruh dalam puja bakti sebagai ‘kala’. Dan ada intuisi rasa perasa (raos winiraos batin) yang menjadi penyatu ketiganya dalam ‘patra’. Jagat atau semesta agung diupayakan dengan laku brata atau samadhi agar harmonis dengan semesta ‘kecil’ yaitu manusia sendiri sebagai mikrokosmos yang menyatu dengan makrokosmos. Disinilah inti yang menyatukan religi-religi yaitu ‘religiositas’. Dari sudut manusia, religiositas adalah kerohanian atau yang batin (ketika logika dikotomi masih membagi dua antara yang lahir dan yang batin). Pada hal ketika hidup dipercaya dan dirayakan sebagai saling mengisi dan melengkapi, saling bergantian antara energi ‘yin’ dan ‘yang’ serta di Bali keseimbangan bersilih ganti dalam kain poleng antara yang hitam dan yang putih, disinilah makna religiositas menjadi spiritualitas untuk disadari manusia dalam laku tapa bahwa arah hidup, nilai kehidupan serta orientasi kehidupannya ditentukan oleh hubungannya yang damai dengan Yang Ilahi, Yang Suci.
2. Dalam sosiologi, strukturalisasi atau bentuk sosial religiositas itu dikenal sebagai ‘religi’. Maka pengalaman religius yang adalah religiositas itu dikenal dalam dialog-dialog lintas religi sebagai perasaan misterius dan mistikus saat orang dengan kepekaannya menghubungkan penghayatan hidupnya bahwa Yang Ilahi itu indah, mudah ditangkap intuitif dengan rasa dalam gerak dan karya seni. Yang Ilahi juga benar karena bisa dimengerti dan bisa diucapkan dengan bahasa yang jelas. Yang Ilahi juga pasti baik karena bila manusia melakukan yang baik ia sekaligus menjadi ungkapan kebaikanNya ke alam dan sesama. Dengan demikian religiositas merupakan spiritualitas, kepadanya manusia akan mensyukuri anugerah hidup; akan kembali saat ia mengalami krisis karena khilaf dan melupakan sujud syukur kepada Yang Ilahi.
3. Ketika para seniman berkarya seni, apa-apa yang terbatas saat diekspresikan dalam bahasa tulis indah prosa; ia mengambil wujud ekspresi kata dimaknai padat dan inti dalam bahasa puisi. Kata orang bijaksana, hidup riuh diibaratkan simbolis sebagai hidup yang terlalu prosa. Maka butuh pendalaman hening dalam puisi. Namun, hidup yang terlalu puitis menjadi terlalu senyap, maka butuh selang-seling prosa butuh puisi dan sebaliknya puisi butuh prosa.
4. Ketika bahasa puisi terbatas kata dan menjadi bahasa titik atau garis yang diheningi religius, disana estetika ‘Timur’ (Jepang misalnya) menunjuk ke bentuk minimalis Haiku, dalam lukisan-lukisan Zen Budhis. Di Nusantara ekspresi ‘suwung’ (kosong namun berisi alias full emptiness atau empty fullness) sudah lama diakrabi dan dihayati karena estetika kita bersumber pada ibadah atau ritus religi yang intinya adalah religiositas tadi. Keterbatasan bahasa prosa atau puisi melahirkan ekspresi seni rupa yang mentransendensi bentuk-bentuk fisik atau material. Apalagi bila yang mau diungkapkan oleh para seniman-senimannya adalah pengalaman mengalami Yang Ilahi, yang misterius, Yang Suci sebagai pengalaman religius.
5. Pada pameran untuk bersyukur atas anugerah tahbisan imamat Romo Wanta dengan tema ‘persembahan’ atau offering, amat tepatlah bila dialog tatap menatap dengan ekspresi lukisan dan patung maupun seni rupa kita tempatkan untuk mengajak dialog batin saat Anda semua dengan hening menatap lukisan-lukisan atau karya seni rupa dan patung ini seraya cakap-cakap batin pengalaman-pengalaman Anda sendiri bertemu dan disapa olehNya dengan mendialogkan judul masing-masing karya seni ini. Lihatlah dialog lukisan ‘Medusa’ Aricadia pasti akan mengajak kita menyelam ke misteri awal hancurnya manusia karena Eva yang oleh Aricadia di medusa-kan sebagai pembawa kematian. Juga ‘Hair Style of Medusa’ karya Bambang Adi Pramono. Wanita sebagai yang dihasrati lelaki memang seakan negatif diobyekkan. Namun dari Sansekerta yang sama sisi positifnya adalah yang bisa diharapkan, dijadikan sandaran. Bagaimana Anda dan kita semua ini bisa hidup sekarang ini kalau tidak dilahirkan dari rahim ibu kita? Inilah sisi penebusan dari maut oleh Maria, ibu Jesus atau Isa Almasih yang menggantikan Eva Medusa! Dengan demikian offering, persembahan dialog syukur religius akan menaruh maut dan mati menjadi hidup baru dalam religiositas Kristiani karena salib kebangkitan Kristus.
6. Berhentilah sejenak hening pula pada persembahan lintas religi I Ketut Suasana Kabul yang dengan jernih mengajak kita untuk intropeksi! Diputar waktu dan dihabiskan oleh kesibukan kerja dan kerja, apalagi perburuan uang dan uang kerap baru menunjukkan perlunya saat jeda untuk intropeksi ketika kita dipaksa sakit dan harus berbaring tak bisa bekerja. Atau proses introspeksi mendalam tentu akan membuat kita sadar akan dosa dan kekhilafan kita pada Tuhan dan pada sesama, inilah ajakan Irwan Widjayanto dalam karya ‘Confession of Sin’. Tetapi acap kali di kesadaran religiositas kita, yang jahat akan tampil dalam hidup ini sebagai bala yang bisa dan harus di tolak melalui ritual ‘Tolak Bala’ karya Eugenius Herry Patrianto. Caranya: sujud, doa dan Samadhi seperti patung Ida Bagus Alit dalam ‘Doa dan Harapan’. Tetap menjadi pendoa hening dalam keramaian kerja dan gaduh riuh pasar kehidupan sehari-hari, itulah yang menjadi inti sekolah-sekolah dan latihan-latihan doa yang berintikan ikhtiar tetap menjaga keheningan dengan tampil tulus senyum meski keramaian ‘pasar’ hidup menjadi ranah atau desa, tempat sehari-hari kita hidup. Hidup yang diterima dan disyukuri apa adanya oleh Putu Bonuz Sudiana. Dan hidup yang tidak lepas dari sisi baik dan sisi gelap yang mana kita diajak Buddy W. untuk bersama energi kebaikan Barong selalu siap menghadapi yang jahat, dan Naga Banda Kedol sebagai ikon pengingat hubungan yang di atas mengayomi yang di bawah.
7. Religiositas muslim yang peziarah mencari dan menghayati kebenaran dengan ungkapan seorang Hanif, yang saya pelajari dan timba pengalaman religiusnya dari alm. Nurcholish Madjid serta keimanan takwa dari alm. Gus Dur, selama masa puasa Ramadhan saudara-i muslim mengundang tatap mata hati pada lukisan Budhy S. dengan kaligrafinya mengundang sujud kepadaNya. Dari persembahan reflektif menafsir hidup sebagai terbelah antara yang dirumuskan, dimatematikan dan dihayati dengan hati, kita berhenti lama menatap ke dialog pengalaman kita sendiri yang kerap menghitung hidup dengan rumus matematika dan yang terjadi adalah rumus (matematis) kehidupan. Padahal menghayati hidup dengan religiositas itulah intinya. Dialog seni rupa persembahan Michael Ekaristi Puri Artita dengan karya ‘Rumus Kehidupan’ menggamit tangan kita ke depan karyanya. Pengalaman religius Kristiani dengan simbol-simbol derita disalib dan merasa senasib dalam Kasih karya Fransiskus Rudy dan dalam karya Narko Hanjaya dengan pengalaman sepi eksistensial ditinggal Allah harus dialami Jesus disalib untuk menunjukkan betapa sepi kematian menjadi titik renung di karyanya. Penderitaan atau pecah berwajah dua-nya kenyataan manusia dalam pahatan arca Anthonius Kho mendekatkan kita pada kenyataan saat ini yang penuh kepalsuan, kemunafikan apalagi berwajah duanya manusia seumumnya. Derita dan pecahnya diri dalam muka dua inilah realitas kita hidupi? Lalu dimana religiositas? Ketika kesadaran penuh kepasrahan ketika berhadapan dengan Nya, karya F.X. Danarso,; atau ‘Harmoninya’ Yudhy Susanto, percik-percik air berkah itu dicipratkan untuk mengunggah ranah-ranah religiositas yang terlupakan. Apalagi ‘ritus gong’ yang bermakna khusus di Bali karya I Made Supena, menyadarkan ‘Gong’ kehidupan yang kita jalani. Kemana? Ke harapan, Wayan Suastama atau Lugiono, ‘berperahu ke pura?’ ; atau Sen Pao atau Tedja Suminar yang mengolah imajinasi-imajinasi; atau lagi dalam sikap berdiri Franciscus Nicolaus Hendricus, termangu karena ‘salah pilih jalan?’. Bahkan Erika Hestu Wahyuni terus mengajak melihat ajaran kasih melalui orang Samaria yang murah hati mendapatkan pahala kebahagian , namun akhirnya karya Nyoman Sujana Kanyem menutup dengan judul karya Circle of Life yang bisa ditafsir hidup selalu berputar seperti kehidupan yang tak henti-hentinya. Daun-daun yang gugur diantara batu-batu yang sudah lebih dahulu mendarat di tanah, di mana di salah satu batu tumpuan berdiri sosok kecil manusia sedang berjuang mencari keseimbangan? Keseimbangan untuk kehidupan lebih baik, untuk mengikuti berputarnya kehidupan.
8. Inilah hantaran terbatas saya untuk pameran ‘offering (s)’ dengan mata baca yang terbatas pula, Anda-andalah sang penafsir sekaligus subyek dialog religiositas Anda yang bertemu religiositas para seniman, Karena kita disatukan sama-sama sebagi teman-teman seperjalanan dalam kehidupan yang sama ini. Akan terus dirayakan dan dimuliakankah kehidupan Nusantara ini atau dihancurkan oleh hasrat keserakahan kita. Terlalu banyak orang yang beragama sebagai having religion, para seniman dan jalan seni mengajak kita semua untuk being religious dalam menghayati hidup. ‘Keluarga Kudus’ Wayan Apriadi merupakan ideal praktek menjadi kudus dalam keluarga. Selamat pesta syukur imamat Romo Wanta, Selamat berpameran seni rupa dan Anda semua selamat berdialog dengan karya-karya dahsyat. Tidak tersebutkan atau ada yang tak terbahasakan mohon dimaafkan bukan berarti karya itu kurang penting, namun ‘bahasa diam’ tidak memberi ulasanpun, ternyata berlaku untuk saya.
Salam.
KAYU GALLERY BALI
BALI ARTSPACE
(on google map)
bambangadipramono@yahoo.com
bambangadipramono@gmail.com
COPYRIGHTS © 2022
www.bambangadipramono.com
All right reserved